cerpen, sejuta kata cinta untuk ibu
sebuah cerpen, sejuta kata cinta untuk ibu
Untuk hari ini aku tak bisa berkata apa-apa, setelah aku tau siapa sebenarnya wanita tua renta yang selalu berdiri di sampingku, disaat aku rapuh, disaat aku mulai goyah, disaat aku putus asa, dan bahkan di saat aku mengeluh dengan hidupku.
Dia terus menyusuri koridor asrama tempat aku sekolah, maksud dan tujuannya cuma satu, memberi aku uang jajan. Langkahnya tak terhitung oleh mata, saking bersemangatnya dia berjalan dan ingin sesegera mungkin bertemu denganku. Setelah beberapa menit menyusuri koridor kamar asrama yang luasnya mencapai “seluas masjid Istiqlal”, akhirnya bertemu juga denganku yang berpas-pasan keluar dari kamar. Hatinya bak bunga mawar kemarau panjang yang mekar ketika hujan nan rindu menjenguk keharumannya.
“ Alhamdulillah ya Allah. Anakku, ibu capek dari tadi mencarimu?, darimana saja nak?”
Sanggah ibuku dengan nada kasih sayangnya yang tiada tara. Dia memegang tanganku sambil mencium keningku.
Di saat yang bersamaan, temanku keluar dari ‘kandangnya’. Dia melirik ke ibuku, sembari lagak acuh tak acuh. Aku jadi salah tingkah dibuatnya, “identitas egoku selama ini bisa terbongkar karena ibuku berdiri disini, kenapa ibu masuk ke dalam untuk menemui aku, apa susahnya menyuruh orang piket di posko asrama yang di depan untuk memanggilku, dasar wanita tua memalukan” pikirku dalam hati. Dan aku merasa, temanku tidak nyaman dengan kehadiran ibuku di tengah-tengah mereka, walaupun sebenarnya aku dan ibuku berada di luar kamar. Tapi aku tidak menggubris sikap temanku itu, Kubalas sapaan ibuku dengan mukaku yang sedikit masam, karena merasa sedikit malu dengan kehadirannya.
“ Nggak, ini jam istirahat. Barusan baru bangun” jawab ku tegas dengan nada datar.
“Oya, ini ibu ada beli salak dengan jeruk tadi di pasar. ibu sengaja tadi menyuruh tukang ojek untuk berhenti sebentar di toko buah. Ibu juga bawa lauk tongkol buat makan kamu nanti siang. Siapa tau di dapur umum ikan asin lagi”,terang ibuku dengan senyum dan semangatnya sambil menyerahkan beberapa kantong plastik yang ada di tangannya kepadaku. ibuku memasak lauk tongkol buatan khasnya untukku. Yang menjadi makanan favoritku waktu di rumah. Lantas …..
“Sudahlah bu. Apa-apaan ini, kan sudah kubilang, aku mencret gara-gara makan salak dan jeruk yang ibu beli kemarin itu. Dan hari ini, ibu bawa yang itu lagi. Seperti gak ada buah lain aja. Ibu beli kek sesekali bengkoang, apel, avokat, kan enak di makan. Lagian, lauk tongkol aku tidak suka bu, ibu bawa pulang saja semuanya”. Jawabku ketus dengan lagak ego dan seolah tidak suka dengan apa yang ibuku bawa, gengsiku nampak sangat kental saat itu. Aku telah menyakiti perasaannya, hanya karena gengsi dengan temanku. Karena cuma aku yang terpilih sebagai yang termiskin di antara temanku yang lain.
Ibuku tidak menjawab apa-apa lagi, selain terucap dari mulutnya,
“Maaf, ibu lupa. Ibu kira kamu sudah sehat. Jumat depan ibu datang lagi bawa buah yang kamu sukai.Tapi ambil saja dulu salak dan jeruknya, kalo lauknya kamu nggak mau makan, kasih untuk teman-teman mu yang mau, jangan lupa juga doain ibu mudah rezeki ya nak, biar ibu bisa kasih yang lebih untukmu!” jawab ibuku dengan lembut sambil mengelus kepalaku dengan rambut yang telah kusisir. Tanpa berkata apa-apa lagi, ibuku pulang meninggalkanku.
Aku tidak tau dan tidak pernah mau mencari tau dengan keadaannya. Apakah dia sudah makan atau belum. Darimana dia mendapatkan uang untukku setiap minggunya untuk membiayai sekolahku dan juga abang dan kakakku yang sudah kuliah seorang diri, setelah sepeninggal ayahku beberapa belas tahun yang lalu. Aku benar-benar tak pernah mau mencari tau tentang hal itu. Yang aku mau tau, cuma satu darinya,
“bu, uangku untuk minggu ini sudah habis, aku hampir mati kelaparan disini”, begitulah kata-kata yang sering telontar dari mulutku, mungkin kata-kata yang tak pantas diterima oleh seorang ibu. Tetapi dia tetap menjawabnya,
“iya anakku, sabar dulu, akan ibu usahaiin besok. Doain ibu mudah rezeki ya”.jawaban lembut yang sering terhembus dari mulut seorang ibuku yang tegar dan penuh rasa kasih sayang terhadapku.
Kala waktu itu, tercatat oleh memori hidupku sampai sekarang, dan terngiang terus tentang hal yang telah kuperbuat terhadapnya. Waktu itu umurku sudak beranjak remaja. Aku memarahinya hanya karena hal sepele.
“bu, kemana sertifikat lombaku yang kemarin ibu pegang” tanyaku marah-marah.
“lhoe, kok tanya sama ibu, dimana kamu simpan?” ,jawab ibuku bingung
“Tapi kemarin kan ibu minta lihat sertifikatnya. Nah, dimana udah ibu simpan!”
“Kan sudah ibu kasih lagi sama kamu, untuk di simpan baik-baik biar tidak hilang”
“Tolol amat sih orang ngomong, kan kemarin setelah ibu pegang, ibu langsung beres-beres rumah, mana ada ibu kasih ke aku” kata-kata kasarku mengalir begitu saja dengan nada tinggi tanpa merasa hal bersalah sedikit pun.
“Apa kamu bilang tadi, tolol. Apa yang belum cukup ibu kasih untukmu. Hanya karena sertifikat yang tidak penting itu, kamu bilang ibu tolol?” jawab ibuku dengan matanya yang sudah berbinar dan berkaca-kaca, karena mendengar kata-kata yang sangat kasar keluar dari mulutku.
“Apa ibu bilang, tidak penting. Itu lebih penting dibandingkan harta yang ibu miliki, tau?! Apa yang bisa ibu kasih lebih untukku, kalo bukan hanya Cuma nasi putih campur telur asin. Sungguh malang nasibku jadi anakmu. Asal ibu tau, dengan sertifikat itu, aku bisa leluasa mendapatkan beasiswa untuk masuk kuliah, dimana masa depanku akan lebih cerah dibandingkan denganmu. Hidupku akan berubah, tidak harus mendekam di gubuk reyot seperti ini” ujarku dengan kasar sambil membanting pintu lemari tempat aku mencari sertifikatku yang hilang. Tanpa disadari, air mata ibuku berlinang menitik di pipinya
“Memang nak, tak ada yang lebih berharga yang ibu kasih selama ini untukmu. ibu hanya bisa memberikanmu uang jajan selama ini yang tak pernah cukup buat sekolahmu, salak kelat dan jeruk asam yang selalu ibu bawa buat kamu waktu masih sekolah di asrama dulu, sampai kau tamat sekarang, tapi ibu cuma punya satu hal yang mungkin kau tak pernah tau yang ibu berikan selama ini untukmu, ibu tak pernah lupa mendoa’kan untukmu disaat kamu telah tertidur lelap, ketika kamu mau ujian, dan disaat kamu bilang ke ibu ‘bu aku mencret’. Kamu tau nak, ketika itu, ibu tidak bisa tidur, terus memikirkan keadaanmu disana, siapa yang akan mengurusimu waktu sakit. Dan ibu sengaja bangun tengah malam untuk shalat tahajud dan mendoakan kesehatanmu” sejenak kata-katanya tersendat, air matanya terus berlinangan jatuh membasahi lantai tempat dia terduduk. Dia tak sanggup berdiri dan melanjutkan kata-katanya lagi. Hatinya bagaikan debu yang di terpa angin, terpisah-pisah dan beterbangan, rasanya sakit dan sakit sekali.
Tapi aku merasakan hal itu hanya sesuatu kewajaran, dan tak pernah mau terbawa situasi. Wanita itu memang cepat menangis, apalagi sudah tua. Itu yang terbersit dalam otakku yang kotor, tanpa memperdulikan dia yang terduduk lesu karena aku telah membuat hatinya pecah. Aku berlalu masuk ke kamar begitu saja, tidak ada yang kudapatkan hari itu, bukan sertifikat yang kudapatkan malah ratapan seorang ibu yang dibuat sakit hatinya oleh anak durhaka sepertiku.
Dua hari setelahnya, sedang-sedang aku belajar untuk mempersiapkan diri masuk universitas, terlihat secarik kertas berwarna kuning keemasan di kolong meja dekat tempat aku belajar di kamar tidur. Karena curiga, kutarik perlahan, kuperhatikan, dan kubaca, Oh ternyata disini sertifikatku selama ini bersembunyi. Rasa gembira menyelimuti diriku, ingin rasanya kukasih tau sama ibuku, tapi seketika langkahku terhenti di depan kamarnya, karena teringat kejadian kemarin. Aku menuduhnya, sampai-sampai memakinya hanya karena sertikat itu. Sontak saja aku terkejut, ketika ibuku keluar dari kamarnya.
“Ada apa kamu disini?” tanyanya
“oh nggak bu, tadi ada kecoa mau masuk kamar, makanya aku kesini” tandasku berbohong..
“Oooo…ya sudah, tidur siang dulu. Nanti setelah selesai shalat dhuhur, baru belajar lagi. Ngajinya kan Cuma masuk malam, jadi siang sama sorenya kamu pergunakan saja untuk belajar soal-soal dan mengulang pelajaran SMA, supaya anak ibu bisa lulus masuk universitas, dan bisa mengejar cita-citanya nanti, nah untuk itu, menjaga kesehatan sangat penting, jadi istirahat dulu, bisa kan?” ibu membujukku untuk menjaga kesehatan supaya belajarku lebih berkonsentrasi.
“Iya bu,bisa”
“Ya sudah, tidur sana. Ibu mau masak dulu buat makan siang”.Jawab ibu sambil berlalu menuju ke dapur rumah.
Aku tersadar, ternyata ibuku tak pernah sedikitpun dendam terhadapku hanya karena kemarin aku membuat dia menangis. Dia tetap memperhatikan kesehatanku, dan juga menjadi ‘babu’ setiap hari untukku.
Ceritanya bermula sebulan kemudian, ketika aku jatuh sakit. Karena aku yang kurang memperhatikan kesehatan, dan nyamuk penyebar DBD bertebaran dimana-mana. Akhirnya aku mengidap DBD stadium 3+. Itu menjadikan aku sangat terpukul, padahal 2 minggu lagi ujian masuk universitas sudah mulai diadakan. Harapan untuk masuk universitas bagaikan mengharap hujan di musim kemarau panjang. Ibuku tau, aku hancur dengan kejadian yang tak terduga seperi ini. Aku masuk puskesmas yang tak begitu bagus untuk rawat inapku. Aku bilang sama ibuku,
“bu, aku bisa pulang kan bu. Aku sudah belajar bu, aku mau ikut ujian, aku mau masuk universitas bu!” ibaku dengan suara lirih dan hampir tak terdengar, saking lemasnya karena tubuhku dimakan penyakit.
Air matanya jatuh, sempat terlihat olehku yang terkapar lemas di atas ranjang puskesmas yang tak begitu nyaman untuk ditempati olehku yang sakit parah. Ibuku menjawab ,
“iya anakku, itu pasti. Anak ibu cepat sembuh, dan ibu doakan supaya kita cepat bisa pulang!” ibuku mencoba menjawab pertanyaanku dengan suaranya yang terdengar parau, mungkin karena semalaman dia terus menangisiku dan berdoa untuk kesehatanku.
Tiba-tiba terdengar suara tapak sepatu dari luar, dan ternyata dokter datang, memeriksaku. Menekan-nekan bagian dadaku, sambil mengecek pupil, tangan dan juga suhu tubuhku dengan termometernya. Ibuku tidak sabar lagi mendengar perkembangan kesehatanku. Tapi, tiba-tiba kening dokter mengkerut, dan dia menyuruh ibuku untuk pergi keruangannya. Ketika itu, pikiranku sudah mulai gelisah dan gundah, apa yang sebenarnya terjadi denganku.
Dengan segera ibuku langsung bergegas dari kamar tempat aku menginap menuju ke ruang dokter di lantai dua puskesmas tersebut. Pikiran ibuku makin kalang kabut “apa yang sebenarnya yang terjadi dengan anakku ya Allah, mudah-mudahan dia tidak kenapa-napa” pikirnya dalam hati…
Setelahnya, ibuku langsung masuk ke ruang dokter. Dokter mempersilakan ibu untuk duduk dan menenangkan dulu pikirannya. Dengan tanggap siaga, ibuku tidak sabar lagi untuk bertanya kepada dokter…
“bagaimana keadaan anakku sekarang dok?” tanya ibuku dengan penuh penasaran.
“begini bu,….” belum sempat dokter melanjutkan kata-katanya, ibuku langsung menyanggah
“Anakku tidak kenapa-napa kan dok, anakku bisa cepat sembuh segera kan dok?”ibuku tidak sabar lagi mendengar jawaban dokter.
“Anakku tidak kenapa-napa kan dok, anakku bisa cepat sembuh segera kan dok?”ibuku tidak sabar lagi mendengar jawaban dokter.
“iya , tenang buk. Sebelumnya saya minta maaf dulu buk, saya berharap ibu bisa mengerti, yang bahwa….” dokter diam sejenak sebelum melanjutkannya
“Yang bahwa apa dok? Cepat katakan!” paksa ibuku kepada dokter, ibuku sudah mulai cemas.
“Yang bahwa, penyakit anak ibu sudah mencapai stadium 4, dan tidak mungkin untuk dirawat disini, membutuhkan rumah sakit yang menyediakan fasilitas dan obat yang memadai untuk dijadikan sebagai rujukannya, kalau nggak, kami tidak bisa berkata apa-apa lagi buk” terang dokter dengan nada sedih.
Tersontak ibuku terkejut, langsung berdiri, dan meninggalkan ruangan dokter. Menuruni tangga dengan lutut yang melemas, dan langsung menuju ke kamar yang berada di pojok lantai bawah tempat aku terbaring sakit, memasuki kamar, merangkul, dan memeluk tubuhku erat, sambil mengelus-elus tubuhku bak seperti ibu kucing yang sedang menjilati anaknya. Suara tangis terdengar dari mulutnya….
DBDku beranjak ke stadium 4 setelah satu minggu mendekam di puskesmas dengan tanpa ada penanganan khusus dari pihak rumah sakit, bahkan tidak ada yang memadai. Ibuku tidak sanggup membawaku ke rumah sakit yang lebih besar dan sudah pastinya adalah mahal. Semakin hari, penyakitku semakin menjadi-jadi. Dingin yang menusuk tulang membuat aku meringkik tak karuan. Tubuhku semakin digerogoti oleh penyakitku yang semakin mengganas ini. Piluku, membuat hati ibuku teriris-iris mendengarkan kesengsaraanku. Setiap hari dan malamnya, aku menangis. Seolah-olah kamar puskesmas tempat aku menginap, telah disulap menjadi lautan es arktik, yang dinginnya tiada tara, ditambah lagi dengan tiada perapian metabolisme yang aktif di tubuhku. Aku menyerah, aku tak sanggup bertahan lagi. Penyakit ini sangat membuat aku menderita. Aku pasrah, aku berhenti, aku ingin berhenti untuk selama-lamanya….
Hari ini adalh hari ke 9 aku di puskesmas, siangnya badanku tiba-tiba bagaikan di himpit es, pori-pori kulit di tanganku pertama sekalinya mengeluarkan cairan merah darah, aku tak sanggup melihat pemandangan ini.
“bu, aku tak sanggup lagi bu. Aku mau pulang saja, aku merindukan tempat tidurku!”
Ibuku menangis mendengarkannya. Tak terperikan, tangannya mengelus ke kepalaku, seolah memberikan pesan ‘ anakku, kamu harus kuat dengan cobaan ini, ibu tidak kemana-mana, tidak ada lagi kebahagiaan ibu selain melihatmu sembuh, tersenyum, dan bahagia seperti dulu lagi, ibu sangat sayang kepadamu nak’. Air matanya terus berjatuhan, titik demi titik dan membasahi mukanya yang sudah mulai berkerut karena berjalannya usia.
“bu, kenapa ibu menangis?” tanyaku kemudian.
“tidak anakku, ibu tidak menangis. Ibu cuma sedih, kamu menderita seperti ini, itu karena ibu. Coba kalau ibu punya sesuatu yang berharga, yang bisa ibu tukar dengan uang, pasti keadaannya tidak akan seburuk ini, ibu sudah bisa membawa kamu ke rumah sakit yang layak”, jawab ibuku lirih. Begitu setianya dia padaku.
Keesokan harinya, ibu mendengarkan anak tetangga kami menderita sakit parah. Dia adalah teman mainku waktu kecil dulu, walaupun sekarang status pertemanan kami sudah jauh. Dia hidup di kalangan yang mapan, bergaul dengan orang tinggi, yang membuat dia semakin merasa besar dan seolah menjadi dewa di kalangan teman sebayanya. Aku menjauh dan mungkin juga sudak tak dianggap teman lagi, karena aku malu dengan keadaanku. Ibuku minta izin untuk menjenguk tetangga kami itu ke rumah sakit kota, dan aku dititipkannya kepada perawat puskesmas. Sesampainya disana, ibuku tiba juga di ruang tempat anak tetangga kami di rawat. Dia menanyakan kabarnya.
“sakit apa anakmu mar?” tanya ibuku kepada ibuk maryamah, tetangga rumah kami itu, yang lagi menemani anaknya yang tak kunjung membuka mata.
Dengan nada sedih dia menjawab,
“Aku tidak tau rohana, kata dokter…..kata dokter…huuk…heek..heek”, dia menangis tersedu-sedu, tidak sanggup menjawabnya….
“yang sabar mar, anakku juga sakit. Tidak seorang ibupun yang ingin anaknya sakit, tetapi ini adalah takdir Allah, mengetes ketegaran kita sebagai seorang ibu. Sanggupkah kita bertanggung jawab dengan titipannya, menjaganya, menyayanginya, memberikan segalanya untuk kebahagian anak kita. Walaupun sebenarnya lutut, dan otot-otot kita tidak sanggup lagi untuk bekerja. Tetapi hal yang paling terindah, dan diharapkan oleh seorang ibu seperti kita adalah ‘untuk tidak membuat mereka merasakan kesusahan yang sama seperti kita’, kita tak berharap air susu kita terbalaskan olehnya, yang hanya kita harapkan adalah dia bisa bahagia, sehat, dan pandai seperti orang lain, biar dia tidak merasa malu ketika berada di kalangan temannya, walaupun kadang kita dianggap sebagai barang memalukan baginya ketika berada di sampingnya. Apa yang kau rasakan sekarang, aku juga merasakannya. Kita tak pernah tau apa yang direncanakan Allah, tapi aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang, aku merasa tidak berguna karena tidak sanggup menjaga kesehatannya. Hatiku luluh setiap mendengarkan raungan tangisnya, dia sangat menderita beribukan aku yang miskin ini, tidak sanggup membawanya ke rumah sakit yang layak!” ibuku menghibur ibuk maryamah sambil bercurhat, tidak terasa air matanya meleleh ke dagunya.
“emang, anakmu sakit apa rohana?”…………………………………………………………………………………………………………..bersambung ke Part II
i like this
ReplyDelete