cerpen, seribu kata cinta untuk ibu

Malaikat Tua ( Part II )

“emang, anakmu sakit apa rohana?”
            “anakku diserang DBD, dan sekarang sudah semakin parah, memasuki stadium 4!” ibu maryamah turut berduka atas musibah yang menimpaku, mereka menangis dan menangis sesunggukannya. Dua orang ibu yang sedap meratap sedih karena anaknya tertimpa musibah, bagaikan hidupnya tiada arti lagi.
ibuk maryamah mencoba untuk  menahan tangisnya, dan……
            “rohana, aku sangat berterimakasih mempunyai sahabat sepertimu, tetapi aku sangat terpukul setelah mendengar dari dokter, yang bahwa anakku mengalami penyakit kerusakan hati yang sangat parah, dan dia sekarang membutuhkan seseorang yang rela ‘hatinya’ untuk ditransplantasi, dan aku tidak tau siapa orang yang mau melakukannya”. Ibu maryamah mengeluh kesulitan untuk mencari orang yang mau hatinya ditransplantasi kepada anaknya. Temanku itu, randy namanya. Dia mengalami kerusakan hati, mungkin karena dia dulu terkenal sebagai perokok berat, dan senang pergi ke bar. Masih untung aku tidak kaya seperti dia, sehingga terhindar dari pergaulan bebas.
            Setelah ibuku selesai berbincang dan saling menghibur dengan ibuk maryamah, dia langsung pulang, khawatir dengan keadaanku. Besoknya aku hari ke dua belas mendekam di rumah sakit. Rasanya tubuhku sudah mati setengah, tinggal menunggu izrail mendatangiku. Ibu tak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa dan berdoa. Keadaan berubah seketika, pori-poriku terus mengeluarkan darah, tubuhku lemas tak sanggup berdiri, mataku terpejam sedikit demi sedikit. Ibuku jadi linglung, tidak tau mau membuat apa lagi, dokter datang, keadaan  semakin mencekam ketika nafasku sempat terhenti selama 5 menit. Seketika ibuku berkata ,
            “Dok, cepat bikin surat rujukan anak saya ke rumah sakit kota. Biar semua biayanya saya tanggung sendiri”…kata-kata ibuku lepas begitu saja, tanpa pikir panjang lagi akan mahalnya biaya pengobatan.
            “baik” “suster, cepat bawa masuk anak ini ke ambulance, biar saya bikin surat rujukannya”,tegas dokter dengan cepatnya. suara lampu ambulance langsung menggegerkan masyarakat rumah sakit. Para suster langsung ambil alih dengan mempersiapkan segalanya, mulai dari jarum gantung dan perlengkapan tempat berbaringku di dalam mobil ambulance. Ibuku mengambil perlengkapan pakaianku, bantal dan semua yang didepan matanya. Dia tidak tau harus mengambil apa lagi, panik dengan keadaanku yang sekarat….sambil menangis dia masuk ke dalam ambulance. Memanggil-manggil namaku, tapi mungkin mataku sudah lelah, dan tidak mau untuk dibuka. Mataku sudah beristirahat untuk sesaat…….
Beberapa jam kemudian, kami sampai juga di rumah sakit kota, dan para suster rumah sakit bergegas menuruniku dari ambulance, membopongku ke ruang UGD.
            Dalam keadaan cemas seperti itu, ibuku teringat kepada sahabatnya, ibuk maryamah-tetangga kami.. Berpas-pasan juga rumah sakit yang di tuju adalah rumah sakit yang sama. Ibuku menemui ibuk maryamah, tetapi dia tidak sanggup untuk ditemui. Dia jatuh sakit, karena keadaan anaknya yang semakin memburuk. Frustrasi, tidak ada yang mau mendonor hati untuk anaknya walaupun di bayar mahal, karena itu adalah pertaruhan nyawa.
            Pikiran ibuku semakin mengambang, niatnya untuk meminjam uang kepada ibuk maryamah untuk pengobatanku tidak jadi dia ungkapkan, karena melihat penderitaan yang di alami ibuk maryamah juga sama halnya seperti yang dia alami. Ibuku tak sanggup melihat aku menderita lebih lama lagi, karena dokter tidak mau menangani pengobatan aku sebelum ada suatu jaminan penanggungan biaya pengobatan.
            Setelah beberapa saat aku di tahan, karena tidak ada yang menanggung biaya pengobatannya, akhirnya namaku dipanggil. Pengobatan intensif kuterima. Aku dirawat disana dengan suasana yang mewah. Makan enak, merasa nyaman dengan tempat tidurnya yang empuk, ditambah lagi ruangannya yang ber AC. Aku sudah beranjak hari ke 20 selama mendekam di puskesmas hingga ke rumah sakit kota. Keadaanku sudah mulai pulih, dan lusa aku sudah bisa pulang ke rumah.
            Besoknya, ibuk maryamah menjengukku, dia ingin menyampaikan kabar gembira kepada ibuku, yang bahwa anaknya sudah sembuh, karena sudah ada yang mau jadi pendonor hati untuk anaknya. Dia memasuki ruang kamarku.
            “Nak irsyad, bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya yang langsung tertuju padaku. Dia menyebut nama panggilanku saja, tanpa memanggil nama lengkapku, Muhammad Irsyad.
            “iya buk, saya sudah sehat sekarang. Kata dokter, saya besok sudah bisa pulang”
            “O ya udah, ibumu mana irsyad. kok dari tadi tidak nampak”…tanya buk maryamah kepadaku.
            “Saya tidak tau buk, saya merasa dia tidak lagi menjengukku. Mungkin dia sudah pulang, karena abang dan kakakku juga sedang kuliah, mereka membutuhkan uang. Dalam beberapa hari ini, belum ada yang menjengukku,” jawabku sedih.
            “begitu ya, ya udah, kalo begitu ibuk pulang dulu ya. O ya, kalau ibumu nanti menjengukmu, jangan lupa bilang ya, kalau anak ibuk si Randy sudah sembuh”…pesan ibuk maryamah kepadaku sembari bangkit dari kursi tempat duduknya yang berada disebelah ranjang berbaringku di kamar rumah sakit yang mewah itu, yaitu kursi tempat terakhir ku lihat ibu menatapku terakhir kali setelah tidak menjengukku lagi dalam beberapa hari terakhir ini.
            Setelah ibuk maryamah pulang, kesepian mulai menyelimuti diriku. Merasa sesuatu yang kehilangan, entah kenapa, badanku yang sehat tidak mampu membius jiwaku untuk tenang, dan tidak sedikitpun merasa bahagia.
Malamnya aku masih mendekam di rumah sakit, sebagai malam perpisahanku dengan jarum gantung, masker wajah dan juga alat denyut jantung yang memenuhi kamar inapku. detik demi detik, jam demi jam yang berdentangan di dinding, akhirnya pagipun menjengukku yang tidak tidur semalaman, karena melepaskan kerinduan kepada ibuku yang tidak lagi menjengukku dalam beberapa hari ini, “apa dia sudah tidak menyayangiku lagi, ah yang penting sekarang aku sudah sehat. Pulang ke rumah, dan dua hari setelahnya aku langsung tes ujian masuk universitas. Wuuiiiiiiihhhh, aku jadi mahasiswa” pikirku dalam hati merasa bahagia.
Kira-kira jam 09.00 WIB sudah tiba, dokter ‘menjemputku’ ke kamar untuk memberikan surat bebas rumah sakit dan sudah boleh pulang.
            “Muhammad Irsyad, kamu hari ini sudah boleh pulang, sudah ada yang menjemputmu?”..tanya dokter sambil menyerahkan berkas-berkas dan resep sekaligus obat yang harus di minum setelah rawat inap.
“ia dok, saya menunggu ibu saya. Dia pasti sudah tau kalau sayasudah sembuh dan boleh pulang. Dia pasti senang”. Jelasku dengan semangat yang langsung mengambil berkas dari dokter tersebut untuk ku simpan.
“ ya sudah, kalau nanti ibumu sudah datang, tolong hubungi dokter untuk sebagai konfirmasi bagi pasien yang sudah pulang, mengerti kan?”
“iya, saya mengerti dok!”
Langsung saja aku membereskan semua pakaianku, tanpa tersisa sedikitpun. Tampak disitu kerudung ibuku yang tertinggal, ku ambil dan kusimpan. Setelah semuanya beres, aku duduk di sisi kamar sambil berharap ibu akan datang dan senang melihat keadaan ku yang sekarang. Aku menunggu dan menunggu, jam di dinding telah menunjuki pukul 16.00 WIB sore, tapi tidak ada seorang pun menjemputku. Aku menunggu sampai malamnya, mungkin siangnya ibuk capek, dan butuh istirahat yang lebih. Aku tetap tidak bergeser dari tempat dudukku, ingin segera melihat ibu dan minta maaf padanya akan kesalahanku selama ini, aku terus menunggu sampai larut malam, tapi tak seorang pun yang muncul ke kamarku. Aku tertidur dalam penungguan. Besoknya aku terbangun dan terus menunggu ibuku, berharap dia datang dan membawa salak kelat dan jeruk asem lagi untukku, yang pernah dulu ku tolak, dan aku ingin bilang sama dia “aku rindu salak dan jeruk yang ibu beli dulu untukku”.
Tetapi rasanya hari ini tidak ada yang datang juga, aku menjenguk keluar jendela, memantau keluar kamar, siapa tau dia ingin membikin kejutan ketika aku buka pintu nanti. Perlahan aku menuju ke pintu, dan bathinku semakin yakin mengatakan bahwa ibuku ada dibaliknya. Kuangkatkan kakiku pelan dan melangkah menuju pintu, supaya tidak berderap…pelan-pelan aku memegang pintu dengan tanganku dan………..
“kraaaAAaaaAAakraak” pintu kamar terbuka pelan, dan sedikit demi sedikit mataku melirik ke balik pintu sebelah luar. Bluaaarrr …. aku terkejut, rupanya benar saja, ternyata ibuku sudah capek menungguku disana. Tetapi aku melihatnya dengan tampilan yang berbeda dari sebelumnya….
Ibuku tampak muda, wajahnya putih, memancarkan cahaya. Bajunya bagus sekali, dia memakai gaun putih. Aku mengedipkan mataku dan menampar-nampar mukaku, gerangan apa yang membuat ibuku menjadi cantik seperti ini, aku pikir “pantas saja selama ini ibu tidak menjengukku, rupanya pergi ke salon kecantikan”. Lama aku menatapnya, seolah dia mengisyaratkan sesuatu kepadaku yang kuartikan sebagai sebuah arti ‘dia tidak bisa menjemputku untuk pulang ke rumah’……tapi, aku langsung berlari kearahnya untuk memeluknya,…BHUUUK,,,aku memeluknya, dan seketika aku langsung berlutut di hadapannya sembari meminta maaf,,,,
“bu, maafkan aku, yang selama ini telah menyakitimu, aku janji aku tidak akan memarahimu lagi, aku tidak akan mengataimu tolol lagi, aku insaf bu, kau setia menemaniku waktu sakit walaupun tanpa tidur, tiada hentinya matamu berlinangan air mata  sambil menengadah tanganmu meminta kepada Allah supaya aku cepat sembuh….aku khilaf bu, maafkan aku”…aku menangis di lututnya dengan mata yang terpejam dan air mata membasahi pipiku
“Maaf dek, maksudmu apa ya. Kakak tidak mengerti?”
            Tersontak aku terkejut dan langsung bangun mendengar jawaban itu,’kapan ibuku memanggilku dengan sebutan dek’ pikirku. Sambil berusaha menyapu air mata dan kulihat dengan pasti, siapa sebenarnya yang ada di hadapanku. Oh ternyata….
Aku berlutut di depan seorang kakak perawat yang sedang membawa resep obat untuk pasien yang berada di sebelah kamarku. Tanpa ada kata yang bisa terucap lagi setelah kuliat fenomena itu, ternyata ibuku takkan pernah mau datang lagi untuk menjengukku. Mungkin dia sudah sangat capek.
Pagi berbalik arah menjadi sore. Aku terduduk lesu di kursi koridor gang kamarku sebelah luar. Mungkin seseorang akan menjengukku, dan membawaku pulang. Karena aku tau, abang dan kakaku takkan bisa menjemputku, disebabkan dia harus pergi kuliah. Tetapi……
Dari kejauhan koridor gang kamarku, seolah mataku menangkap bayang-bayang seseorang yang akan menghampiriku. Aku bangun dari tempat dudukku, dan menuju ke arahnya. Betul saja, dia adalah ibuk maryamah dengan putranya, Randy. Dia langsung memelukku, dan sedikit menahan isak tangis yang terdengar olehku.
            “kamu tunggu siapa lagi nak, ayo kita pulang” ajak ibuk maryamah
            “saya mau menunggu ibu saya buk” sahutku lemas
            “kamu mau menunggu ibumu?”
            “iya” jawabku mengharap.
Dia langsung memelukku untuk kedua kalinya, kali ini isak tangisnya semakin terdengar. Aku semakin tidak mengerti. Yang kemudian di susul oleh Randy yang meneteskan air matanya.
Dia mengajak aku pulang,
            “mungkin kita jumpa ibumu di rumah saja syad, sekarang pulang ajha dulu dengan kami”, bujuknya
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengikuti mereka pulang. Dan mengantarkanku ke rumah…..setelah aku tiba di rumah, aku langsungkeluar dari mobil innovanya si Randy…..
Pandanganku langsung di penuhi oleh kerumunan orang banyak, aku tidak melihat ibuku disana. Langsung saja aku masuk ke dalam rumah, dan…….
            “bu……….   ibu……… ibu……….., aku udah pulang bu, kau dimana bu…..ibu…..” aku memanggilnya kemana-mana
            “bu, aku sudah sembuh bu, kamar rumah sakitnya sangat mewah bu……perawatnya baik-baik sekali kepadaku bu…..ibu kok nggak da sih disitu, aku capek menunggu ibu” ceritaku pas berdiri tepat di hadapan kamarnya…..”bu, ibu ada di dalam nggak? Ku buka kamarnya ya?!”…….
“KRAAAkkkkkk” pintu kamarnya terbuka………tapi..
Kamarnya kosong, semua barang sudah dirapikan, seisi kamar dicekam kesunyian…..aku melotot tanpa makna….bagian tengah kamar mengeluarkan asap kemenyan,…jangan-jangan……….
Semua mata di rumahku, tertuju melihatku dengan pandangan kosong. Mereka seketika tidak bisa bergerak bagai orang dihipnotis, ada yang langsung menetes air matanya. Ada yang langsung terduduk karena tidak sanggup berdiri lagi ketika melihatku.
Ibuk maryamah langsung menyusul dari belakangku, memelukku, mencium keningku, dan tidak sanggup dia melepaskan aku dari pelukannya. Dia menangis tersedu-sedu…..tidak tahu entah kenapa.
Setelah dia agak menahan tangisnya, dia mengajakku ke luar rumah dan menenangkan diri,
“buk, dimana ibuku, kenapa dia tidak mau lagi menemuiku, apa dia sudah membenciku, dan untuk apa orang berkerumunan di rumahku, apa ibu mau membuat acara pesta, terus kemana abang dan kakakku pergi, tolong jawab buk”…beberapa pertanyaan ku lontarkan dalam sekali ucap
“iya anakku,,,,ibuk tidak sanggup memberi jawabannya,,,huuek hhheuuk” tangisnya semakin menjadi-jadi
“jawab dulu pertanyaanku buk, dimana ibuku….dimana dia sekarang, aku mau menemuinya, kenapa dia menjauhiku, jawab buk…” tanyaku memaksanya dengan suara sedikit keras,,,perasaanku tidak enak, menjaadi bimbang dengan jawaban ibuk maryamah …jangan-jangan……….
“anakku, kakak dan abangmu lagi menemuinya”
“dimana dia, dimana dia?aku tidak sabar menemuinya sekarang”jawabku dengan perasaan lega.
“mereka ada di belakang rumah,jangan…..”belum sempat buk maryamah menyelesaikan pembicaraannya, aku sudah meleset ke belakang rumah.
Seketika aku mendapat abang dan kakakku sedang bersimpuh diatas tanah, tampak mereka sedang menangis tersedu-sedu. Sontak hari yang cerah berubah jadi guntur badai mengerikan, pikiranku langsung menerawang kemana-mana…..”apakah ibuku....apakah ibuku….., tidak mungkin” pikiranku kacau…
Aku menghampiri abang dan kakakku, pertanyaanku langsung meleset…..
“dimana ibu…”
Sambil terisak-isak karena tangis, kakakku mencoba untuk menjawab…
“ibu tidak pernah menjengukmu lagi, ibu tidak akan pernah menemani kita lagi, ibu sudah berada di tempat abadi, ibu tidak lagi berada disisi kita untuk selama-lamanya…ibu sudah di surga”
Seketika, Hatiku hancur lebur mendengarkannya, kepalaku pitam, kata-kata itu bagai guntur menghantam ke kepala, mencabik-cabik jiwa, harapanku beterbangan di terpa badai, 3 hari aku menunggunya di rumah sakit, tetapi jawaban apa yang aku dapat-sungguh mematikan jiwa ragaku. Seketika aku roboh dari tempat berdiriku, terhempas digundukan tanah yang memanjang menghadap ke barat. Aku tidak bisa mengendalikan diri, tubuhku melemas di atas gundukan tanah itu. Tanpa tersadari air mataku berlinangan deras tanpa sadar, beberapa saat kemudian, pandanganku sudah kelam, kelam , dan kelam….semua menghitam bagai malam….mataku langsung terpejam.
Abangku langsung membopongku ke rumah, dan membuatku tersadar kembali. Sesaat setelahnya, aku bangun, sekejab aku melihat banyak orang mengelilingiku, tetapi……BRUUUUKK,,,aku tidak kuat dengan kenyataan ini……
Dalam tidurku yang kedua, aku menemui ibuku, seraya berkata “bangunlah anakku, ibu tidak mau melihatmu sedih seperti itu, ibu akan tetap disisimu, ibu sangat menyayangimu”…sontak, aku langsung terbangun dan masih mendapati hal yang sama. Orang-orang masih berkerumunan di sampingku, setelahnya ibuk maryamah masuk ke dalam dan menyuruh orang-orang untuk keluar. Aku langsung bertatapan muka dengannya, kakak dan abangku berada disisiku. Mereka takut kenapa-napa dengan kesehatanku yang baru pulih, dengan kenyataan yang tidak sanggup ku terima. wajah mati tanpa ekspresi, aku bagai patung dihadapan ibuk maryamah, pandanganku menerobos kosong ke depan, air mata bak hujan bulan desember. Dia mencoba menjelaskan semuanya kepadaku………………………………………………………………………………………………….

Sekarang baru aku menyadarinya, setelah dia tiada untuk selama-lamanya. Super women yang tak pernah dimiliki oleh orang lain kecuali aku. Pilu dan sakit mendengarkankan cerita ibuk maryamah. Ibuku mengorbankan segalanya demi aku asalkan aku bahagia dan senang. Semua pengorbanannya itu tanpa kusadari secara nyata, karena ibuku adalah MALAIKAT TUA yang selalu menjagaku dari belakang. Dia meninggalkanku untuk selama-lamanya setelah menghadiahi aku kesempatan kedua untuk melihat dunia ini. Ibuku pergi untuk selama-lamanya, tetapi dia pergi dengan tidak sia-sia, nyawanya diberikan untuk dibagi kepada dua orang yang sangat dia cintai. Kepada aku sebagai anaknya, dan kepada anaknya ibuk maryamah, yang telah dianggapnya sebagai sahabat sejati. Ibukulah yang telah bersedia menjadi pendonor hati, untuk membiayai pengobatanku sekaligus menyelamatkan nyawa anak sahabatnya yang terancam…..ibuku telah pergi, tetapi dia menjiwai dalam diri ini……..ibuku telah pergi, nan kelembutan kasihnya tetap di hati………ibuku telah pergi, tetapi jasanya tetap terukir rapi didalam jiwa dan ragaku ini……….ibu, aku telah salah menempatkan posisimu di dalam hidupku, sekarang engkau telah tiada, aku takkan pernah berhenti mendoakanmu. Itu janjiku….Ibu, tunggu aku di surga………..
writting by : Iswandi

Comments

Popular Posts